Minggu, 23 Desember 2012

Menggairahkan Kritik Sastra di Jambi

Sastrawan nasional yang juga seorang jurnalis budaya Agus R Sarjono selama 2 hari didaulat Panitia Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) VI menjadi pembicara utama pada kegiatan pelatihan penulisan sastra dan kritik sastra di Kantor Bahasa Jambi.

''Ini kegiatan yang teramat langka dilakukan di tanah air, karena itu terjadi kemandegan perkembangan kesasteraan saat ini. bersyukur karena kali ini panitia PPN VI, Dewan Kesenian Jambi (DKJ) dan Kantor Bahasa Jambi menghelat kegiatan ini selama dua hari 19 hingga 20 Desember,'' kata sastrawan Indonesia, Agus R Sarjono di jambi, Jumat.


Disampaikan Agus dalam kegiatan yang diikuti sedikitnya 50 peserta kalangan remaja peminat sastra dari kalangan mahasiswa, guru dan pelajar, pemahaman masyarakat khususnya generasi muda terhadap kritik sastra teramat minim sehingga memuncul kerancuan akibat keterbatasa tersebut.

Karena itulah, tambah dia, muncul anggapan yang salah ketika publik menyama ratakan antara kritik sastra dengan kritik-kritik terhadap disiplin ilmu lainnya seperti kritik ekonomi, kritik sains, kritik olahraga, kritik politik, hukum dan lainnya sehingga berikutnya kondisi ini menstimulus lahirnya sikap paranoid dan perasaan trouma yang yang tidak beralasan pada diri para calon kritikus sastra.

Pasalnya, kata dia, kritik sastra pada hakikatnya bukan kritik yang dimaksudkan untuk seketika dibalas atau dijawab dengan pembeberan alibi atau alasan dari sastrawan yang karyanya dikritik, seperti hal layaknya prilaku pulbik terhadap dunia kritik disiplin ilmu lainnya yang cenderung memicu sikap emosional dan egosentris primordial individu.

Kritik sastra dimaksudkan untuk turut melatih dan mengembangkan tanggung jawab kekaryaan yang aplikasi berikutnya adalah guna membangun jati diri dan menguatkan sikap, karekter sastrawan bersangkutan dalam membangun karyanya yang bertanggung jawab kedepannya, dalam kata lain samsekali bukan dimaksudkan untuk mematikan spirit kekaryaan sastrawan.

''Kesalahan juga telah terjadi dari dunia pendidikan, dimana di dalam kurikulum pengajran bahasa dan sastra yang diajarkan adalah kritik pragmatis seperti kritik terhadap unsur-unsur intrinsik atau ekstrinsik dari sebuah karya sastra,'' ujar Agus.

Siswa, tegas dia, samasekali tidak diajarkan untuk memahami kritik sastra sebagaimana hakikatnya sebagai karya yang merdeka yang metode mengkritiknya sama sekali tidak cukup sebatas mencari-cari kelemahan atau kekuatan dari unsur-unusr in dan eks tersebut.

''Apalagi, unusr-unsur yang bersifat struktur itu semestinya adalah amteri pembelajaran lanjutan yang dipahami dan gali di perguruan tinggi karena sifatnya yang lebih spesifik tidaklah akan dapat dengan mudah dimengerti oleh remaja tingkat sekolah menengah SMA apalagi SMP,'' kata dia.

Semestinya, tambah dia, mengkritik sastra adalah aktivitas yang menyenangkan karena bisa dilakukan secara lebih merdeka tanpa harus ditakutkan oleh anggapan apalagi ancaman pihak lain, sebab melalui kritik ini seseorang menjadi memiliki ruang merdeka sepenuhnya ketika ruang-ruang kritik yang lainnya telah tertutup baginya oleh berbagai aturan dan norma pragmatis kehidupan.

Memicu generasi muda khususnya peljar dan mahasiswa untuk berani tampil menjadi kritikus adalah cara bijak untuk melahirkan sosok tokoh kritis di dalam kehidupan lebih luas berikutnya.

Pasalnya, tambahnya, tidaklah semua pelajar atau mahasiswa bahasa an sastra itu nantinya akan tumbuh menjadi penyair atau sastrawan, dibutuhkan sebagian di antara mereka untuk bisa menjadi kritikus karena antara sastrawan, karya sastra dan kritikus saling membutuhkan dalam satu proses pembangunan kesasteraan, kebudayaan dan peradaban di satu negeri.

''Tanpa adanya kritikus, yakinlah keberadaan sastra, sastrawan dan karya sastra di satu negeri itu tidaklah akan pernah muncul, hadir dan tumbuh sebagai satu bentuk kehidupan dan peradaban dari negeri itu sendiri,'' tegas Agus. (ant/as). Sumber: ciputranews.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar